Bandar Lampung - Solidaritas Perempuan dan Walhi Lampung melakukan diskusi terbuka dengan tema " Potensi Ancaman Omnibus Law Terhadap Perempuan dan Lingkungan" yang dilaksanakan di Kantor Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Kamis (13/02).
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Akademisi Dr. Yusdiyanto, Irfan Tri Musri Direktur Walhi Lampung dan Armayanti Sanusi Ketua Solidraritas Perempuan Sebay Lampung yang melibatkan Akademisi, Jaringan Sektoral, Mahasiswa dan media .
Menurut Yusdiyanto, Omnibus Law Sendiri merupakan konsep kebijakan untuk penyederhanaan Kebijakan yang dianggap saling berestorasi.
“Namun kebijakan omninus law harus di kaji kembali, pasalnya secara cultur Indonesia bisa saja tidak cocok diterapkan RUU ini. Apa lagi keluar dari landasan UU 1945 yang tentunya akan berdampak terhadap situasi sosial, ekonomi dan budaya pada Rakyat Indonesia. Apa lagi jika kita lihat pola penyusunan RRU Omnibus Law sangat menutup ruang partisipasi Publik sehingga bisa dipastikan RUU hanya memiliki orientasi Investasi,” ujar Yusdiyanto
Mengenai Potensi Ancaman Omnibus Law terhadap perempuan, Armayanti Sanusi memaparkan bahwa Omnibus Hukum cipta lapangan kerja, menimbulkan dampak berlapis dan memperkuat ketidakadilan Gender.
“Berbagai persoalan yang telah dipaparkan di atas, tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks budaya patriarki, dimana perempuan kemudian menghadapi dampak dan ketidakadilan yang berlapis. Salah satunya adalah pengerusakan lingkungan. Vandana Shiva dalam bukunya ‘Staying Alive, Women, Ecology and Survival in India (1988) menjelaskan bagaimana perempuan merupakan subjek yang paling dekat dan intim dengan alam, sehingga pada saat konsep pembangunan menundukkan alam muncul juga diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan,” papar Armayanti Sanusi.
Sementara Titiek Kartika Hendrastiti mengungkapkan bahwa perusakan alam identik dengan perusakan “tubuh” perempuan.
“Tentunya kita dapat belajar dari pengalaman masifnya investasi yang terjadi 5 tahun terakhir, baik investasi pertambangan, perkebunan skala besar, maupun proyek investasi serta infrastruktur telah berdampak kepada semakin hilangnya akses dan kontrol perempuan atas sumber-sumber kehidupan dan ruang hidupnya,” terang Titiek Kartika H.
Solidaritas Perempuan Sebay Lampung mengidentifikasi setidaknya ada 14 Perundangan yang berkaitan langsung dengan perempuan dari 79 UU terdampak oleh Omnibus law diantaranya ; UU No. 22 Tahun 2013 Trntang Perlindungan Pemberdayaan Petani, UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU no 7 tahun 2016 tentang perlindungan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Serta UU no 18 Tahun 2017 Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPMI) Mengingat Lampung sendiri merupakan Pengirim Pekerja Migran no 5 skala Nasional Dengan jumlah pengiriman Pekerja migran sekitar 14,786 orang/2019. dan bisa dipastikan 80℅ merupakan Pekerja Migran perempuan yang bekerja disektor Informal. Jadi Bisa dipastikan jika Omnibus Law diterapkan akan semakin memperparah situasi ketidak adilan dan kekerasan berlapis bagi perempuan. Ditambah lagi potensi kerentananan Perempuan, anak2 dan kaum rentan lainnya atas potensi Bencana Ekologi.
Menurut Irfan Tri Musri melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan. Investasi yang digaet oleh pemerintah Indonesia sebagai solusi mengatasi defisit neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, justru merupakan investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan tidak menyejahterakan masyarakat. Hal itu disebabkan pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi asing yang datang sehingga investor potensial yang hadir justru adalah investor yang buruk dan paling ekstraktif, yang hanya akan memperluas eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan.
“Penyusunan “RUU Cilaka” cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil dan mendaur ulang pasal inkonstitusional. Secara formal, penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur. Karena proses penyusunan RUU Cilaka sangat mencederai hak partisipasi masyarakat. Sejak pembahasan Prolegnas sampai penyusunan draft oleh Kemenko Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses oleh masyarakat. Padahal, Jokowi menargetkan RUU Cilaka selesai di bahas dengan DPR dalam 100 hari kerja. Terlebih lagi, ketiadaan oposisi yang kuat dibuktikan dalam berbagai pernyataan bahwa DPR akan mengakomodasi semua kepentingan pemerintah di omnibus law. Hal ini melanggar Pasal 89 jo 96 UU 12/2011 yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat,” terang Irfan Tri Musri.
Dari hasil diskusi ini akan diteruskan ke eksekutif dan legeslatif agar dapat segera menanggapi perihal tersebut.(Eman)
Facebook comments